Pemilihan lambang atau slogan harus mampu memberikan inspirasi bagi yang melihat dan mendengarnya, harus punya nilai filosofis yang mendorong orang untuk berkinerja dan mengaktualisasikan dirinya. Masyarakat Bengkulu sangat bangga mengatakan provinsinya sebagai land of rafflesia, diekspresikan dalam banyak simbol, slogan dan nama. Menurut saya tidak pas dan tidak pantas?. Karena :
1. bunga ini merupakan tumbuhan parasit obligat yang tumbuh di jaringan tumbuhan perambat (liana), dan tidak mampu berfotosintesis karena tidak mempunyai klorofil. Apakah sesuatu yang bersifat parasit dan tidak mandiri dapat menjadi values untuk berslogan? Sifat parasitis demikian apakah merupakan sesuatu yang dapat dijadikan inspirasi dalam berkarya?.
2. bau bunganya aja busuk. Konon bau busuk inilah yang mengundang lalat untuk datang untuk menyerbukinya. Bau busuk mau diagung-agungkan? Bau busuk dijadikan icon?? .
3. lokasi dan waktu tumbuh relatif tidak dapat diprediksi. Sifat yang unpredictable dan inconsistent seperti ini jauh dari sesuatu yang mampu memberikan inspirasi.
4. bunga rafflesia mekar hanya lebih kurang satu minggu. Udah parasit, busuk, unpredictable dan inconsistent, mekar cuma satu minggu, itupun di lokasi yang sulit dijangkau (jangan-jangan tidak ada yang tahu kalau rafflesia mekar). Tidak ada nilai keabadian yang ditunjukkan sama sekali, atau pesonanya cuma sesaat.
5. besarnya bunga tersebut, cuma besar aja. Mungkin yang besar hanya parasitismenya, busuknya aja, sikap unpredictable dan inconsistent, pesona sesaat saja!.
6. Yang terakhir, namanya ‘rafflesia’ tersebut dapat saja mengingatkan pada keperkasaan kolonialisme, dancing on our people’s graves.
Biarkan bunga raflesia menjadi tanaman yang mungkin punya nilai dan peran ekologis di ekosistemnya, tapi gak usah dipaksakan menjadi landasan filosofis. Apa kita orang Bengkulu gak punya pilihan untuk cari simbol lain atau slogan lain yang lebih inspiratif??? Mungkin orang dari daerah lain tidak menjadikan rafflesia sebagai icon karena 6 alasan di atas, atau bahkan lebih banyak lagi.
1. bunga ini merupakan tumbuhan parasit obligat yang tumbuh di jaringan tumbuhan perambat (liana), dan tidak mampu berfotosintesis karena tidak mempunyai klorofil. Apakah sesuatu yang bersifat parasit dan tidak mandiri dapat menjadi values untuk berslogan? Sifat parasitis demikian apakah merupakan sesuatu yang dapat dijadikan inspirasi dalam berkarya?.
2. bau bunganya aja busuk. Konon bau busuk inilah yang mengundang lalat untuk datang untuk menyerbukinya. Bau busuk mau diagung-agungkan? Bau busuk dijadikan icon?? .
3. lokasi dan waktu tumbuh relatif tidak dapat diprediksi. Sifat yang unpredictable dan inconsistent seperti ini jauh dari sesuatu yang mampu memberikan inspirasi.
4. bunga rafflesia mekar hanya lebih kurang satu minggu. Udah parasit, busuk, unpredictable dan inconsistent, mekar cuma satu minggu, itupun di lokasi yang sulit dijangkau (jangan-jangan tidak ada yang tahu kalau rafflesia mekar). Tidak ada nilai keabadian yang ditunjukkan sama sekali, atau pesonanya cuma sesaat.
5. besarnya bunga tersebut, cuma besar aja. Mungkin yang besar hanya parasitismenya, busuknya aja, sikap unpredictable dan inconsistent, pesona sesaat saja!.
6. Yang terakhir, namanya ‘rafflesia’ tersebut dapat saja mengingatkan pada keperkasaan kolonialisme, dancing on our people’s graves.
Biarkan bunga raflesia menjadi tanaman yang mungkin punya nilai dan peran ekologis di ekosistemnya, tapi gak usah dipaksakan menjadi landasan filosofis. Apa kita orang Bengkulu gak punya pilihan untuk cari simbol lain atau slogan lain yang lebih inspiratif??? Mungkin orang dari daerah lain tidak menjadikan rafflesia sebagai icon karena 6 alasan di atas, atau bahkan lebih banyak lagi.
No comments:
Post a Comment